Pages

Senin, 14 Februari 2011

REKLAMASI, CAPE DEH

 20 tahun lalu, saat kontroversi tentang reklamasi pantai Manado, yang melibatkan kaum akademisi, praktisi, politikus, pakar lingkungan, serta masyarakat umum merebak, saya yakin reklamasi tak akan berlanjut. Tapi fakta berbicara lain. Ratusan mall serta kerajaan bisnis, akhirnya tumbuh subur bak jamur di musim durian. Entah berapa triliun ‘turn over’ uang terjadi di tempat yang dulunya merupakan tempat favorit saya menghabiskan sore hari (hehe...sampe sekarang ngga abis-abis tuh sorenya)

Walau pada prinsipnya saya dan kelompok  lainnya tidak setuju menukar paksa keindahan pantai Manado dengan ratusan mall- dengan dalih pertumbuhan ekonomi- toh persoalannya tidak sesederhana itu. Karena persoalan ini telah mengarah pada perbedaan paradigma. Perbedaan keyakinan.

Kelompok ‘anti reklamasi’ meyakini bahwa aktifitas reklamasi akan berdampak buruk pada lingkungan ekologis. Entah untuk jangka pendek, atau jangka panjang. Sedangkan para pengembang ‘pro reklamasi’ percaya, bahwa walau reklamasi berdampak terhadap lingkungan, namun tidak signifikan, atau dengan ‘bahasa’ lain, dampaknya sangat kecil, atau bahkan “bisa di abaikan”. Di bandingkan ‘nilai tambah’ yang bisa diperoleh bagi pertumbuhan ekonomi.

Ketika sebuah persoalan telah mengarah pada perbedaan paradigma, atau keyakinan, maka hal tersebut bukan lagi masalah logis, melainkan masalah psikologis. Dan ketika seseorang, atau sekelompok orang telah berusaha memaksakan keyakinannya pada orang, atau kelompok lainnya, maka tak dapat terelakan lagi akan munculnya persoalan baru yang jauh lebih besar.

Intermezzo dikit nih. Sejak kecil, orangtua saya telah menanamkan ke benak saya, bahwa saya cuma boleh minum air yang sudah mendidih. Dan ‘doktrin’ tsb mengkristal dalam diri saya sebagai sebuah paradigma. Sebuah keyakinan. Hingga akhirnya saya berkesempatan untuk mempelajari sedikit tentang ilmu Mikrobiologi. Di mana saya memahami satu hal penting : dengan menyingkirkan bakteri-bakteri berbahaya, melalui berbagai proses- selain dimasak hingga mendidih- saya bisa minum dengan aman.

Sejak itu, saya mengubah keyakinan saya. Tanpa tekanan ataupun pemaksaan. Melainkan lewat sebuah penyadaran dan pencerahan. Saya melihat sebuah cakawala baru.

Tirto Utomo, sang pendiri perusahaan minuman mineral Aqua, membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sama sekali tidak kecil, hingga akhirnya mampu mengungkapkan  kebenaran yang ia yakini hingga ke sumsum tulang tentang produk air minumnya pada puluhan juta orang dari berbagai lapisan. Padahal ia sempat dicap sebagai si-sakit jiwa. “Masa sih air mentah di jual untuk di minum.” Kata sebagian besar tetangganya kala itu.


Tapi, “sometimes faith just ain’t enough”…. Ya, keyakinan saja terkadang tidak cukup.

Karena sebagai pihak yang tidak setuju dengan reklamasi, harus bisa membuktikan fakta yang seyogyanya diperoleh melalui analisis, serta kajian yang panjang, cermat dan seksama akan dampak direklamasinya pantai Manado.

Pada akhirnya, baik pihak anti reklamasi dan pro reklamasi harus mau duduk semeja, dengan menggunakan kacamata yang sama, dengan hati yang terbuka dan legowo, berusaha mencari kebenaran itu. Hingga akhirnya,  tidak akan pernah ada pihak yang harus merasa tersudut sebagai ‘the looser’  atau ‘the winner’, melainkan lahirnya sebuah cakrawala berpikir yang baru, melalui sebuah pencerahan. Sebuah transformasi berpikir yang mengerucut pada win-win solution. Karena keyakinan yang dipaksakan, tidak akan pernah berumur panjang. Bahkan tak jarang tumbuhnya tunas baru yg kita sebut sebagai: Dendam.

  Sebagai pihak anti reklamasi, saya ajukan pertanyaan:
“Reklamasi kebutuhan atau keinginan?”

Jika reklamasi adalah sebuah kebutuhan,..”Kebutuhan siapa?”

Jika reklamasi merupakan sebuah keinginan,…saya menyitir pernyataan Mahatma Gandhi: “Sesungguhnya bumi ini mampu memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tidak untuk keserakahannya”

Tapi kalo menurut saya, :"Reklamasi..? capeee deeehhh..."

(Jika kelak saya tua, dan mendapati Manado tak berpantai lagi, mungkin dengan kebanggaan yang tersisa, saya masih bisa berkata pada cucu saya, bahwa di pantai ini dulu, opa pernah mancing, dan menciumi matahari sore. Bahwa dengan keyakinan yang opa miliki, opa bisa menyelesaikan tulisan ngawur ini)