Pages

Jumat, 15 April 2011

BUDIDAYA TERIPANG DI KESUNYIAN LAPEPAHE (Bag. 1)

Catatan kecil sebuah petualangan di Dagho, Kab. Sangihe

 (sebuah kisah nyata yang diceritakan kembali)

Mentari belum jua menampakan senyumnya. Kabut tipis menyelimuti sebagian muka laut teluk Tahuna. Ratusan penumpang KM Mekar Teratai masih terkulai dalam buaian mimpi, saat deru mesin kapal terdengar makin melemah. Sebuah tanda kapal siap berlabuh.

Dalam hitungan menit, sang Nakhoda berhasil merapatkan kapalnya pada dermaga yang dipahami dengan baik lika-likunya. Dari HP seorang pemuda yang masih tertidur pulas, mengalun sebuah nada panggil ber-genre RAP-nya Iwa K. “Bebas”

“Sudah tinggalkan…, tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak tuk membebaskan pikiran, dan biarkan terbang sampai melayang sampai menembus awan…..

Bebas lepas, kutinggalkan saja semua beban di hatiku,..melayang, ku melayang jauh,…melayang dan melayang…..”


Joe, sang trainner
Reflex, Joe mengikuti hentakan musik. Kepalanya ikut bergoyang. Pandangannya terarah pada buih-buih yang tersisa di pinggiran kapal. Di kejauhan, dari balik bukit teluk Tahuna, berkas-berkas sinar pagi memendar kemerahan. Joe mengeluarkan bungkusan rokok, dan menghisapnya penuh kenikmatan




0000000


Entah yang keberapa kali Joe mengunjungi tempat ini, sejak bertemu Max Diamanti, aktivis LSM KEHATI (Keaneka Ragaman Hayati) yang perduli pada kehidupan masyarakat ‘lapisan bawah’.


Berarti saya ngga salah nih ketemu pak Joseph Palinggi. Memang LSM kami sudah lama mencari sosok yang walau berjiwa entrepreneur, tapi punya keperdulian pada kesejahteraan masyarakat bawah. Pokoknya, interest pada ekonomi kerakyatan lah..” ujarnya penuh semangat. 

Pertemuan yang menjadi tonggak awal pertemanan mereka, terjadi tahun 2006.

 Walau sempat terpisah beberapa waktu, namun hubungan mereka tetap terjalin. Entah lewat telephon, atau sms.

“Kalau pak Joe siap, saya akan fasilitasi masyarakat di Dagho, untuk di latih cara budidaya hingga pengolahan Teripang. Soalnya, Teripang di sana, khususnya di Lapepahe, bisa dibilang berlimpah. Tapi kurang di tangani secara optimal.” Nada suara Pak Max di ujung telephon terdengar penuh antusias, sekaligus harapan.    

Joe teringat telephon pak Max, 3 minggu lalu, saat dirinya tengah melakukan pemeriksaan akhir laporan produksi di tempat kerjanya.

Seminggu kemudian, Joe melakukan survey dan pengenalan awal pada ‘calon muridnya’

Mmhhh,… inilah saatnya aku harus mempertaruhkan konduite dan kredibilitas seorang trainner. Oh God, please help me…sebagaimana telah kau lakukan selama ini padaku….!’
 Joe menghembuskan asap rokok kesukaannya. Matanya memandangi lautan manusia yang naik dan turun dari KM Mekar Teratai, mencari sosok penjemputnya.

Tampak sekilas, beberapa Putra Daerah Sangihe yang terbilang sukses di daerah lain menuruni tangga kapal. Konon, nama mereka termasuk dalam kandidat Calon Bupati yang akan ‘berjibaku’ dalam pemilihan berikut.

Seulas senyum mengembang, saat seorang melambaikan tangan, sambil menyebut namanya. Pak Max Diamanti tampak segar dengan kaos biru dan topi yang juga biru.


Meluncur Ke Dagho


Setelah mengisi perut dengan minuman hangat dan beberapa piring nasi (hahaha….rupanya Mr. Trainner sudah kelaparan,..karena sajian kapal yang disuguhkan tidak disentuhnya. Perutnya mual akibat gelombang yang lumayan kencang mengombang-ambing kapal yang ditumpangi), perjalanan yang cukup panjang menuju Dagho ditempuh dengan kendaraan milik keluarga Pak Max.

Eloknya pemandangan alam Tahuna menuju Dagho, membuat perjalanan terasa mengasyikan. Apalagi ditambah guyonan konyol & menyegarkan ala Max Diamanti, yang rupanya punya selera humor yang bisa menyaingi ‘kegilaan’ Sule. 3 jam terasa lebih singkat.

Bagi Joe, petualangan bukanlah pengalaman baru, karena sejak 20’an, ia terbiasa merambahi tingginya gunung, luasnya hutan dan dalamnya laut. Malah, semua aktifitasnya 20 tahunan yang lalu, merupakan bekal penting dalam mengarungi perjalanan hidupnya di masa kini. Khususnya dalam menghadapi berbagai tantangan.

Dari pengalaman petualangannya, ia lebih mahfum menghadapi berbagai karakter orang yang sering di jumpai di tempat kerjanya. Dengan jabatannya sebagai Manager produksi pada salah satu pabrik pengalengan di Bitung, serta Owner sebuah ‘Processing Frozen Fish House’ ia tidak hanya diperhadapkan pada karakter ratusan pekerja yang dipimpinnya, namun juga style Pimpinan lain yang berkebangsaan Philiphina.

Setibanya di Dagho, kedatangan Joe disambut hangat kelompok yang akan jadi ‘anak didiknya’ dalam budidaya Teripang. Setelah berbincang beberapa saat, mereka kembali diperhadapkan pada ritual yang menyenangkan: Makan (siapa bilang makan bukan ritual..?)

Tidak ada yang namanya KFC, Piza, HH Bento, Capuccino, jus Alpukat, ato buah anggur pada hidangan yang disiapkan. Tapi jangan tanya soal kenikmatan. “Seng ada lawan…..” kata guyonan di TV. Nasi panas yang mengepul, sayuran segar, serta menu pamungkas, yakni ikan bakar rica yang ruaaaarrr biasa nikmat. Apalagi ikan-ikan dasar yang waktu di bakar, matanya masih melotot saking marahnya…hahahaha….

Setelah istirahat dan berbincang soal persiapan yang akan dilakukan di lapangan, Joe bersiap melakukan ‘pembimbingan’ pada beberapa masyarakat Dagho, yang ternyata beranggota-kan Ketua Jemaat dan Kepala lingkungan.

Pembuatan kurung-kurung
Atohema adalah kelompok budidaya teripang, yang merupakan program pemberdayaan masyarakat, yang bernaung di bawah payung LSM KEHATI. Kelompok ini diketuai Bpk Jhoni Bangka, serta beberapa anggota, diantaranya Bpk M. Malonda (Kepala Lingkungan) dan Bpk Fritz Kapal (Ketua Jemaat GMIST Tiberias)

Uniknya, pelatihan pembudidayaan ini tidak hanya menyertakan kelompok Atohema, namun juga 3  mahasiswa (Ari Masoa, Shandi Harman dan Dekris Kapal) dari Politekhnik terkemuka di Sangihe, yakni Politekhnik Nusa Utara (mendapat ‘ijin resmi’ dari sang dosen, yang ‘kebetulan’ merupakan yunior Joe saat masih aktif di Mapala FPIK Unsrat dulu)


Persiapan Pembuatan Kurungan


Pembuatan kurungan yang bahannya terdiri dari jaring dan bambu berbentuk persegi panjang, berukuran 20 x 20 (400 mtr persegi) dilakukan pada salah satu rumah tokoh masyarakat Dagho.

Rasa lelah selama perjalanan panjang, terobati dengan antusiasme kelompok, ke-3 mahasiswa, serta dukungan pak Max, yang tampak begitu inspire di mata mereka.

Bukan hal yang rumit memang, jika keinginan untuk maju sudah jadi tekad. Buktinya, tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan PR pertama para ‘murid’. And then, ready to the beach…..


Pembuatan Patok di Lokasi dan pengumpulan bibit


pembuatan patok
Butuh waktu sekitar 20 menit menuju lokasi pembudidayaan, yakni Desa Lapepahe.  Apalagi perjalanan harus ditempuh dalam suasana hening dan gelap. Tapi jangan di tanya asyiknya. Amazing deh bo…!

Mengingat teripang punya ‘rule’ sendiri soal tempat hidup yang layak, jadi ngga bisa sembarangan untuk menentukan lokasi. Perlu kajian dan informasi lengkap sebelum mem-plot lokasi. Ibarat mau ‘nembak’ cewek, harus tahu ketertarikan si-cewek, karakater sama kepribadian (tapi yg pasti bukan mobil pribadi, rumah pribadi, ato rekening pribadi,…hehehe).

Dan bicara soal teripang (sea cucumber), berarti harus tahu salinitas habitatnya, kelimpahan, juga ‘tingkat kesuburan’ lokasi. Soalnya mustahil melakukan pembudidayaan di areal yang 1 ekor-pun gak pernah di temukan keberadaannya. Kan pertanda kalau di areal tersebut ngga cocok untuk mereka menetap.

Setelah lokasi yang cocok ditemukan, Joe & Gank mulai melakukan aksinya. Pasang patok-patok untuk penempatan kurung-kurung yang telah berhasil di buat. Patok yang dibuat dari kayu berukuran 2 – 3 meter, di tanam pada perairan yang kedalamannya 1 – 1,5 meter.

Usai pembuatan patok, lalu kurung-kurung di pasang se-ideal mungkin. And then,….pengumpulan bibit, untuk di budidayakan dalam kurung-kurung tersebut.

Orang arif bilang, kalau pekerjaan di lakukan dengan rasa cinta, maka pekerjaan tersebut bukan menjadi beban, melainkan kesenangan. Nah, bayangkan sendiri deh makna dari kesenangan…hehehe

Walau tidak mudah, tapi tidak juga terlalu sulit untuk mengumpulkan bibit yang populasi alamiahnya cukup lumayan. Bibit yang diperkirakan butuh waktu beberapa bulan untuk ‘dibesarkan,’ mungkin lebih cepat dari perkiraan semula. Gimana tidak,…bibit yang ditemukan, ukurannya besar-besar bo…!

Kesunyian Lapepahe semakin senyap, seiring beringsutnya mentari di balik kerimbunan bakau yang masih asri membentang sepanjang pantai.

Ah, semoga tempat ini tidak ditemukan para ‘mall mania’ alias para pembuat mall yang doyan membabat pohon dan menimbun laut’
Joe menghembuskan asap rokoknya, dengan pandangan yang tak jua lepas dari eloknya alam Lapepahe.

Jangkrik pohon semakin meninggikan volumenya, sering malam yang mendekat. Sosok-sosok tangguh yang usai melakukan tugasnya hanya berdiri menyongsong malam. Ada secercah harapan yang tertanam di hati mereka. Suatu hari nanti, Lapepahe akan dikenal sebagai centra Teripang Sangihe, bahkan Sulawesi Utara. Dan suatu hari kelak, anak-anak mereka akan membangun Dagho, lewat bekal pendidikan yang mereka peroleh, dari kesunyian desa Lapepahe…………………………..semoga.












Nantikan Kisah-kisah selanjutnya





PESAN KEMANUSIAAN: “HENTIKAN PERANG DAN KEKERASAN DI SELURUH DUNIA”


1 komentar:

  1. saya bisa jalan-jalan ke sana nich utk ngececk. Ada pesawat ngga? tolong info-nya...trims

    BalasHapus