Pages

Jumat, 01 Juli 2011

BUDIDAYA TERIPANG LAUT BAG 3. PEMBENIHAN



“Mulailah dengan mengerjakan hal – hal yang perlu; kemudian mengerjakan hal-hal yang mungkin; dan tiba-tiba Anda mengerjakan hal-hal yang mustahil.”
(Santo Fransiskus – Assisi).


Tiba – tiba aku tersadar, 1 bulan sudah ku tinggalkan tempat budidaya teripang di  Lapepahe.  Sebelumnya kami sudah membuat kurungan, memindahkan teripang induk dari alam ke kurungan tersebut serta memberi mereka makanan yang cukup.  Kini saatnya melakukan pembibitan.


Dengan kapal Feri, saya berangkat dari Bitung - Sulawesi Utara sekitar jam 3 sore, menuju pelabuhan feri di kab. Sangihe di Pananaru.  Hari masih pagi saat kapal Feri tiba di Sangihe.  Dari Pananaru, perjalanan saya lanjutkan menuju desa Lapepahe di kec. Manganitu Selatan.  O…ya, jangan kaget, desa ini gak ada di peta.  Tapi patokannya dari depan pelabuhan Pananaru lurus ke arah timur sekitar 30 menit dengan perahu kecil bermesin 5 PK. Jalan darat sebenarnya ada, cuma agak memutar dan jalanan agak jelek terutama dimusim hujan.  Sebelum tiba di desa, saya disambut lambaian kain – kain putih diterpa semilir angin sepoi – sepoi yang tergantung di ujung kayu yang ditancapkan di kurungan teripang yang kami buat sebelumnya.  Sepertinya para teripang bergembira, kami sudah kembali.

Setelah bersih – bersih dan istirahat sejenak, bersama kelompok pembudidaya teripang “Atohema” mulailah kami mempersiapkan segala sesuatu untuk mengawinkan para teripang yang mungkin sudah sangat kepengen.


Sekedar info, pemijahan teripang ada banyak metode lho.  Ada pemijahan alami, pembedahan, perangsang suhu kejut, desikasi dan penyemprotan.  Dari 4 cara itu, kami pilih gabungan antara perangsangan suhu kejut dan pemijahan alami.  Artinya teripangnya dirangsang dengan suhu kejut trus diletakkan di tempat khusus untuk dipijahkan secara alami.  Aneh yah… Kira-kira kalo nda pake metode itu, teripangnya bisa terangsang gak ya? 

  

Karena jenis teripang yang hidup disini mayoritasnya adalah Gamat (Curry fish, Stichopus variegatus) maka jenis itu yang kami pijahkan.  Hewan ini terpisah antara jantan dan betina tapi sulit dibedakan secara fisik.  Tapi di alam, jantan dan betina suka bergerombol dan fertilisasi teripang secara eksternal.





Mula – mula kami membuat kurungan kecil dari jaring ukuran 2 X 1 X 0.5 meter buat nampung induk. Malamnya, induk dikumpulkan dan dipilih yang besar – besar.  Kami pilih 10 ekor berukuran panjang 20 – 25 cm.  Esoknya, mulai pagi sampe sore, induk teripang ini dijemur di matahari biar suhu airnya naik.  Untung cuacanya bagus.  Penjemuran dilakukan selama 3 hari berturut – turut.  Abis itu, pindahkan ke tempat memijah.   Selesai deh…!











Sampai ketemu di kisah selanjutnya….

Kamis, 19 Mei 2011

KONSER MUSIK BAMBU DI PELABUHAN TAHUNA

(Dalam rangka peringatan Hari Bumi & Hari Lingkungan Hidup di Sangihe-Tahuna, 7 Mei 2011)

Matahari memerah saga di sudut bukit hijau yang membentang, dan melingkari pelabuhan Tahuna. Hembusan angin menyapu wajah lautan, membentuk ombak yang buih-buihnya pecah di pinggir bebatuan pantai. Dua pedagang  mempersiapkan dagangannya, sambil tertatih-tatih menyusun tata letak dagangannya, supaya gampang dilihat calon pembeli yang menuju Manado dengan KM. Marine Teratai.

Di kejauhan, buruh pelabuhan sibuk menurunkan tumpukan barang dari Marine Teratai yang diayun ayunkan gelombang.   

Beberapa pria tampak sibuk memasang spanduk bertuliskan: “ Ayo,…Lestarikan Alam, Laut dan Musik Bambu Sangihe Selamanya. Yayasan Seraf Hayati Sangihe”

Beberapa orang buruh terdiam terpaku mengeja tulisan pada spanduk hijau dengan huruf merah tersebut. Satu persatu penumpang beriringan menuju Marine Teratai. Sebagian memperlambat langkahnya untuk membaca tulisan pada spanduk.

“Mmhh,….tumben ada pagelaran musik bambu di pelabuhan.” Seorang penumpang muda bergumam, sambil memperbaiki pegangan pada 3 buah dos yang ditentengnya

Memang sebuah ide baru untuk melakukan pagelaran musik bambu di pelabuhan Tahuna yang selama ini begitu monoton dengan rutinitas keberangkatan penumpang, serta bongkar muat barang.

Selama berpuluh tahun, mayoritas masyarakat Tahuna terfokus pada pelabuhan terbesar di Kabupaten tersebut. Sarana vital dalam transportasi yang menjadi nadi perekonomian. Karena hampir 90% kebutuhan masyarakatnya di pasok dari tempat yang jaraknya ± 4 km dari Kota Tahuna.

#######

Mendekati pukul 16.00 Wita, sekelompok pria tampak mengatur peralatan band guna mendukung pagelaran musik bambu, tepat di bawah jembatan yang tampaknya kurang optimal dimanfaatkan. Hampir bersamaan dengan ditabuhnya drum , satu demi satu orang terkumpul, duduk melingkari beton memanjang di bentangan pantai.  Mentari semakin memiringkan posisinya. Semilirnya angin laut-pun berubah sepoi, seolah menunggu alunan musik membahana di seantero pantai.

Ketika band usai, seorang pria mengambil tempat yang ditinggalkan personil band lokal tadi. Dengan senyuman, dirinya memperhatikan kelompok musik bambu yang menjadi ‘isyu’ utama sore itu. Mengambil posisi tegak, dan mengayunkan tangannya dengan gemulai. Musik bambu-pun mengalun, merayapi  inci demi inci atmosfir beraroma laut.

Sore itu, sebuah catatan manis yang sederhana tertoreh di pelabuhan Tahuna. Konser musik bambu, yang konon pertama kali tergelar di ujung bentangan beton. Membahana bersama pecahan ombak pantai dan sisa-sisa gerimis.  Mengiringi sebuah pesan tentang betapa berharganya Alam, Laut dan musik bambu tradisional Sangihe , yang tak jarang tenggelam di tengah hingar bingar musik modern.

Perlahan, pengunjung semakin bertambah. Membentuk setengah  lingkaran. Beberapa orang tua tampak hanyut .  Duduk tenang dengan sesekali menggoyangkan kepala.  Mungkin teringat kisah-kisah nostalgia mudanya, saat pertama kali menggandeng tangan wanita, atau pria, yang kini tengah duduk tenang di kursi goyang, sambil dipijiti para cucu.




Ketika musik jeda, seorang personil Yayasan Seraf Hayati Sangihe ‘mengisinya’ dengan membacakan himbauan yang berkaitan dengan peringatan ‘Hari Bumi & Hari Lingkungan Hidup’ sbb:

1.     1. Sumber daya alam Sangihe sangat besar, lengkap dan kaya. Itulah ungkapan para pakar Amerika Serikat dari atas kapal peneliti modern, Okeanos Explorer yang melakukan ekspedisi eksplorasi laut dalam bernama INDEX SATAL 2010 pada Juni, hingga Agustus 2010 yang berhasil menemukan gunung api bawah laut terbesar di dunia, pada kedalaman 2000 meter dekat pulau Kawio. Dan artinya, kini terdata lebih dari 2 gunung api bawah laut di Sangihe

 2. Fenomena gunung api bawah laut, yang menyuburkan hasil-hasil laut, kian memperkokoh betapa Sangihe memiliki kekayaan yang tidak dimiliki daerah-daerah, atau Negara manapun.



3.       3. Kian banggalah kita sebagai orang Sangihe, ketika para leluhur dengan cita rasa seni tinggi menghadirkan musik bambu unik dan khas sebagai hasil upaya pemanfaatan pohon bambu yang juga cuma ada di Sangihe..!


4.     4. Besar, lengkap dan kayanya sumber daya alam Sangihe, sudah lama terungkap dalam syair lagu yang bertutur”….hakiu niseba Banalang Duata, ta susane ta ello mata….”  Bahwa Sangihe adalah tanah Tuhan yang tak ada kesusahan dan air mata bagi siapapun yang tinggal di atasnya, asalkan berkemauan untuk melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan.


5.       5. Ayo tanam pohon…, jangan buang plastic ke laut.., cintai musik bambu Sangihe dan tetaplah berdoa…, agar Alam, Laut dan music bamboo Sangihe bisa dinikmati generasi mendatang dan terus menjadi Kebanggaan kita sebagai orang Sangihe.

Salam & Jabat Erat kami…., Yayasan Seraf Hayati Sangihe



Musik terus mengalun. Berganti vokalis dan lagu. Nun di seberang, beberapa kapal penangkap ikan tergoyang lamat-lamat. Seolah mengikuti alunan musik. Tapi waktu toh harus bergulir. Kegelapan merayap perlahan. Lampu-lampu di beberapa sudut telah menyala. Penumpang yang tampak tergesa semakin banyak. Kuatir  tak kebagian jatah tiket.  Dari kejauhan, Marine teratai memberi  tanda tiupannya yang kedua. Alunan musik bambu masih mengalun. Berpadu dengan gemuruh ombak dan hiruk pikuk penumpang.


Malam itu tak sebutir gerimis yang menyapa. Hanya bulan berbentuk sabit menggantung pada kepekatan langit. Pantulannya membentuk jalan cahaya di lautan. Tak terdengar lagi melodi musik bambu. Tapi semoga untaian nada-nadanya terpatri di hati generasi muda Sangihe, yang beringsut bersama Marine Teratai, menuju Manado.

######################

Bukanlah persoalan mudah untuk melestarikan musik tradisional di tengah maraknya geliat musik modern. Di butuhkan bukan hanya keseriusan mempertahankan tradisi, namun juga konsistensi dan keinginan ekstra kuat. Entah melalui konser rutin, pagelaran, pemasyarakatan di strata-strata pendidikan, atau iklan melalui media konvensional atau internet. Dibutuhkan keterlibatan yang bukan hanya para orang tua, namun juga semua pihak, sebagai generasi pewarisnya. Karena jika tidak, musik bambu Sangihe hanya akan terpinggirkan sebagai pajangan unik di meseum-meseum daerah.

Kiranya konser-konser serupa akan terus mengalunkan nada-nada syahdu di tiap sudut tempat dan sudut hari. Tidak semata sebagai pembuka catatan yang tertoreh di Gerimis bulan Mei 2011.

Sesaat ketika KM Marine Teratai bergerak meninggalkan pelabuhan Tahuna, membelah kepekatan malam dan meninggalkan buih-buih ombak, saya termenung di atasnya. Ah Tahuna, kota yang diam-diam begitu saya kagumi dan cintai lebih dari kota kelahiran saya sendiri. Bukan, bukan karena keelokannya semata. Namun karena di kota kecil inilah, 2 orang yang saya cintai-istri dan putri tertua-dilahirkan. Di kota kecil inilah saya mengikrarkan tali cinta kami dalam sebuah pernikahan suci, 12 tahun yang lalu. Ah Tahuna, apa yang bisa kuberikan padamu….? 


selesai









SOMAHE KAI KEHAGE

MARILAH KITA BERSATU MENOLAK PERANG DAN KEKERASAN DI SELURUH DUNIA


Kalimat bijak:
Kebahagiaan seperti minyak wangi yang tidak mungkin Anda percikkan pada orang lain tanpa Anda sendiri terpercik
(Ralph Waldo Emerson)




suka baca yang aneh2? klik di sini




Rabu, 18 Mei 2011

KISAH DI SENJA BULAN MEI 2011


Budidaya Teripang di Kesunyian Lapepahe (bagian. 2)

Pada mulanya

Apa dan Bagaimana Teripang ?

Sudah 2 tulisan tentang budidaya teripang di posting,  mungkin masih banyak yang bertanya, apa sih teripang ? Bagaimana cara mengkonsumsinya ?  Apa faedahnya bagi tubuh…?

Teripang adalah hewan yang bergerak lambat, hidup pada dasar substrat pasir, lumpur pasiran maupun dalam lingkungan terumbu. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan di terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder). Di wilayah Indo-Pasifik, pada daerah terumbu yang tidak mengalami tekanan eksploitasi, kepadatan teripang bisa lebih dari 35 ekor per m2, dimana setiap individunya bisa memproses 80 gram berat kering sedimen setiap harinya. Beberapa spesies teripang yang mempunyai nilai ekonomis penting diantaranya: teripang putih (Holothuria scabra), teripang koro (Microthele nobelis), teripang pandan (Theenota ananas), teripang dongnga (Stichopu ssp) dan beberapa jenis teripang lainnya.

Teripang adalah istilah yang diberikan untuk hewan invertebrata timun laut (Holothuroidea) yang dapat dimakan. Ia tersebar luas di lingkungan laut diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat. Di dalam jurnal-jurnal internasional, istilah trepang atau beche-de-mer tidak pernah dipakai dalam topik-topik keanegaragaman, biologi, ekologi maupun taksonomi. Dalam subyek-subyek ini, terminologi yang dipakai untuk menggambarkan kelompok hewan ini adalah sea cucumbers atau holothurians (disebut holothurians karena hewan ini dimasukkan dalam kelas Holothuroidea). Kelompok timun laut yang ada di dunia ini lebih dari 1200 jenis.





Di perairan Indonesia terdapat banyak jenis teripang. Namun demikian, yang memiliki nilai ekonomi tinggi hanyalah beberapa jenis saja. yaitu teripang pasir (Holothuria scabra), teripang perut hitam (H. atra), teripang susuan (H. nobilis), teripang perut merah (H. edulis), dan teripang nanas (Thelenota ananas). Teripang merupakan lauk yang lezat dan disukai masyarakat Cina dan bernilai jual tinggi di pasaran.

Bentuk badan teripang memanjang mirip mentimun. Oleh karena itu, hewan ini biasa disebut mentimun laut atau sea cucumber. Mulut dan anus terdapat di kedua ujung badannya. Bagian punggun-nya berwarna abu-abu dengan pita putih atau kekuningan memanjang secara horizontal.


Teripang pasir dapat tumbuh sampai ukuran 40 cm dengan bobot 1,5 kg. Kematangan gonad hewan air berumah dua (diosis) ini pertama kali terjadi pada ukuran rata-rata 220 mm. Seekor teripang betina mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang sangat banyak hingga mencapai sekitar 1,9 juta butir telur.
Daur hidup hewan ini dimulai dengan telur yang dibuahi yang akan menetas dalam waktu sekitar 2 hari.

Manfaat Teripang


Teripang/Sea Cucumber & Gold Jelly akan grow factor sehingga dapat memperbaiki sel-sel rusak. kandungan protein hingga 82% dan asam lemak essensial mujarab memperkuat sel hati untuk mengeluarkan antibiotik. Karena itu juga teripang/gamat kerap disebut Imunomodulator. Lantaran kandungan kologen yang tinggi, teripang atau Sea Cucumber & Gold Jelly ampuh melakukan regenerasi sel secara singkat. Penyakit degeneratif yaitu penyakit yang ditandai dengan penurunan fungsi organ yang diakibatkan adanya kerusakan sel-sel jaringan yang luas, dengan kemampuan yang dimiliki teripang/gamat untuk memacu regenerasi sel yang tinggi maka teripang/Cucumber Jelly dapat berfungsi mencegah dan membantu mempercepat penyembuhan berbagai macam penyakit. Penelitian mengungkapkan, teripang/Sea Cucumber Jelly pada konsentrasi 50 mikrogram menggumpalkan dan menghadang sel kanker . oleh sebab itu pengidap kanker banyak yang berharap pada teripang/Sea Cucumber Jelly. selain itu, kandungan protein tinggi pada teripang/Cucumber Jelly yang mencapai 82%, baik diberikan pada penderita diabetes. Protein tinggi berperan meregenerasi sel beta pankreas yang memproduksi insulin GoldCucumber. Hasilnya Produksi insulin meningkat.

Banyak sekali manfaat teripang/Gold Cucumber dalam menyembuhkan berbagai penyakit degeneratif seperti : Stroke, Jantung Koroner, Kencing Manis & Luka Gangren, Kanker (Tumor), Gagal Ginjal, Chirosis Hepatis, Asam Urat, Rhematik, Wasir, Esteoporosis (Pengeroposan Tulang), Alergi Saluran Pernafasan (Bersin, Filek, Sinusitis, Asma), Alergi Kulit (Aksim, Gatal, Darah Tinggi, Darah Rendah, Kolesterol, Penyempitan Pembuluh Darah, Penurunan Fungsi Liver, Rambut Rontok, Pembesaran Prostat dan masih banyak lagi manfaat dari teripang ini.***
(dikutip dari tulisan Siti Rohani, Mahasiswi Prodi Pertanian. Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi – FPPB. Universitas Negeri Bangka Belitung)




Persiapan awal

Usai  ngisi perut dengan menu yang luar biasa: sup ubi campur ikan, woku belanga serta segelas kopi hangat, tim pun prepare for highway to Dagho.

Kalo sebelum berangkat kita di jamu makan pagi yang luar biasa, di perjalanan kita dihadapkan oleh rute yang ngga kalah luar biasanya. Panjang dan belok-belok. Phuuih, mual rasane perut ini.  Di Tamako, tim mampir sejenak untuk mengurangi rasa mual, sekaligus beli tali memperbesar kurung-kurung tempat pemeliharaan teripang, serta cemilan kecil seperti pasir, kerikil,….hehehe,..emangnya ayam makan kerikil.
Tamako dalam bahasa melayu Manado artinya kampak. Tapi anehnya, pendekar kapak sakti  Naga geni 212, si-Wiro Sableng, justru tidak berasal dari daerah tersebut. Kenapa ya koq dinamain kampak…?

Walau sering tersiar kabar kalau masyarakat Tamako bertemperamen keras, nyatanya gambaran tersebut tidak tampak sama sekali. Karena faktanya, sebagian besar mata pecarian masyarakat adalah petani dan nelayan. Bukan pemahat patung, atau pembuat candi (Hehe,..apa hubungannya ya...?)
Tim sampe di Dagho jam 12.00 Wita. Ngobrol dikit, lalu di sambung lagi sama makan.  Wah, makanan kali itu ngga kalah hebat sama di Tahuna. Salah satu menunya kepiting bo..! Hehe,…jadi inget ‘jepitan’ di rumah nih.

Habis makan kuterus mandi,..tidak lupa menggosok gigi,..uupps,..maaf,..maksudnya kami menuju dermaga Dagho. Itu, proyek perikanan yang statusnya sama dengan buah simalakama: hidup segan, mati ngga berani. Ah udah ah,…bukan urusan kite. Di Dermaga, rupanya kami sudah di tunggu perahu yang di nakhodai 2 orang.

“Jemputan dari Lapepahe.” Begitu informasi yang disampaikan salah satu kondektur perahu (hehehe...)

Bukan gampang untuk ngangkut perlengkapan toex  budidaya plus bahan pakan hampir 200 kg ke perahu berkapasitas 6 orang. Ditambah dengan kondisi laut surut, yang bukan cuma mbikin jarak jadi sedikit lebih jauh ke perahu, bebatuan besar yang licin juga siap menanti tapak-tapak kaki yang salah pijak. “Untung udah gosok sunblock”

Belum juga hidung ini usai membaui aroma laut yang khas (ssttt,…please, ngga usah nanya deh soal bagimana aroma laut yang khas,…hehehe..), serta mengamati riak-riak kecil yang ditinggalkan perahu di dermaga Dagho, tiba-tiba dari langit yang emang udah diselimuti awan gelap, jatuh deh butiran-butiran kecil yang membentuk lubang-lubang indah di lautan.




Perahu-pun menyusuri kulit lautan sambil terombang-ambing. Iihhh,..rada geli dikit loh nginget situasi begitu. Cuman,..hehehe…masa bekas pendaki gunung takut.

Suer,…ngga banyak loh orang yang sudi basah-basahan di guyur gerimis,  diombang-ambing di perahu kecil sambil mbawa tai ayam (untuk campuran pakan teripang), ke lokasi yang ‘cukup terisolir’ dari akses jalan. Demi  kesejahteraan masyarakat sebuah kampung kecil.




Pemberian Pakan

Setelah hampir 30 menit nyusurin birunya laut, tim-pun tiba di lokasi. Nurunin semua perlengkapan, trus jalan kaki sekitar 15 menit ke tempat kelompok Budidaya Atohema.(Intermezzo sedikit, ternyata Atohema artinya Pengharapan) Ngobrol sebentar, sambil nunggu anggota kelompok lainnya. 




Ngga lama kemudian, kami balik ke tempat bahan pakan diturunkan.  Mencampur ramuan (pake sekop, bukan pake mixer. Emank bikin black forest….), lalu membaginya dalam 10 karung yang telah diberikan pemberat. Melubangi beberapa bagian karung, dan membawanya ke lokasi pembudidayaan. “Anak-anak,…dady is coming….”












Dengan 2 perahu terpisah, tim meletakan pakan di beberapa titik. Beberapa anggota tim memeriksa keberadaan teripang yang diperkirakan telah mencapai 200’an, dengan nyebur ke laut yang dalemnya setinggi paha orang dewasa.





Usai ngasih makan teripang-teripang di penangkaran, perahu-pun bergerak menjauh. Tiba-tiba saya dikejutkan seorang anggota kelompok yang nyemplung mendadak. Rupanya  ia  nemuian 1 teripang Gamat berukuran besar. Kami-pun balik lagi untuk naro si-teripang ngumpul sama friends-nya.




Waktu mau balik ke rumah anggota kelompok, tim nyempetin diri untuk metik ‘anggur laut’ yang dinamain ‘Lahe’ oleh masyarakat Kep. Sangihe. Tapi metik sambil nyelem. Karena Lahe tudia, adanya di dasar perairan yang dalemnya sekitar 1 meteran. Konon (ssttt,..mbacanya jangan di balik ya,..ntar konotasinya jadi porno…hehehe…), Lahe ini punya beberapa faedah untuk kesehatan tubuh. Salah satunya untuk nurunin Hipertensi sama kadar kolesterol. Cuman belom ada sih pembuktian medisnya.

Lahe ini biasa dikonsumsi sebagai sayuran, dengan campuran bumbu penyedap seperti bawang merah dan beberapa bumbu lain. Enak loh. Sueger.









Diskusi

Setelah sampe di rumah bpk John Bangka (ketua kelompok Atohema), Mr. Trainner dan Mr. Diamanti,  memberikan beberapa arahan guna rencana program ke depan. Pembenihan, panen, pengolahan dan pemasaran.  Joe Palinggi (tolong jangan di tambahin huruf ‘r’ setelah ‘i’.., ntar nenek moyangnya marah), sang Trainner memproyeksikan, pada beberapa bulan ke depan, teripang akan mencapai jumlah 6.000 ekor.
Hampir 20 menit diskusi berlangsung, dan dilanjutkan dengan makan sore. Phuiihh,…perut rasanya ampir pecah.

Pulang

Setelah berjabat tangan, sambil cipika-cipiki (halooo,..khusus yang ini cuma ibu Tika sama ibu-ibu kelompok loh,…hehehe…), kami bersiap pulang. Ketika menyusuri jalan setapak, Joe Palinggi, sang trainner berbisik untuk muter lagu kesayangannya yang ada di Hp saya. Lagunya KLA Project.

Tentang kita
Hari-hari kan berdebu, bersama dirimu, yakin kuhadapi.
Sambil merajut bedua, anyaman benang angan yang kau tawarkan. 
Sekian lama tuk mengerti, dirimu jadi misteri yang kian terselami……..
Sejuta asa yang sempat kutitipkan di dalam sinar matamu.
Pribadi nan sederhana, menjanjikan keteduhan, kasih nan murni.
Ternyata tlah menjadi kebahagiaan hati yang tiada terperi
Mari genggam jemari,.memadu dua hati, saling memiliki…..
Kembali,..kembali lah kini…
Tetap setia,…sampai selama-lamanya………..

Sambil memandangi guratan pelangi yang tertoreh di birunya langit Utara, serta bentangan bukit hijau yang tampak lebih hijau disirami gerimis  panjang, benak saya digelitik oleh sebuah tanya: apa yang membuat orang-orang ini- LSM Kehati (Mr. M. Diamanti), sang trainner (Mr. Joe), Tika, dan beberapa sosok masyarakat- rela melakukan banyak ketidaknyamanan tersebut…? Harapan. Adalah kata yang tepat untuk ditorehkan pada ujung tanya. Sebagaimana arti nama kelompok budidaya teripang tersebut. Atohema.

Saya hanya berdiri termanggu diterpa hembusan angin yang menyeruak, membelai tubuh basah ini, seraya menghisap panjang-panjang kretek yang sebagiannya telah dibasahi gerimis. Untuk sesaat, saya menyapu habis pemandangan elok pada hamparan laut dan populasi bakau yang berbaris memagari tepian laut.

Sesuatu terlintas di benak saya, apa kontribusi semua ini bagi saya…? Membuang waktu berharga hanya untuk mengiringi kisah petualangan dan pemberdayaan di sebuah tempat terpencil bernama Lapepahe. Tertatih-tatih memikul karung berisi kotoran ayam dan dedak, diguyur gerimis panjang di atas perahu kecil yang merayap bagai keong,  lalu memuatnya dalam blog? Ketenaran…? Mmmhh,..haruskah semua yang kita lakukan memberikan keuntungan pribadi..? Tidak, karena terkadang, kebahagiaan tidak datang ketika berusaha mengejarnya untuk diri sendiri, melainkan ketika kita berusaha membagi kebahagiaan itu pada orang lain. Yah, setidaknya hal itu yang bisa saya pelajari dari mereka. Pelajaran tentang sebuah kata yang bertuliskan: Pengharapan. Satu-satunya alasan yang membuat siapapun bertahan hidup.

Perahu yang mengantar kami ke Dagho bergerak lebih lincah dari saat kedatangan. Nun di kejauhan, dari balik belukar bakau yang terhampar, sesayup sayup terdengar kicau burung yang tengah bernyanyi. Menyanyikan kidung selepas hujan. Ritual para burung.

Sebuah tanya kecil menyusup di benak saya,… mungkinkah saya kembali ke sini..? Ah, waktu jua yang akan menjawabnya. Karena,….

(Niat baik tak semudah membalikan telapak tangan. Akan ada banyak tantangan di depan. Tudingan miring, prasangka negativ,  perpecahan, dan banyak lagi. Namun, tak tampak kegelisahan membayang di wajah mereka. Yang ada hanyalah senyuman, yang lahir karena sebuah harapan dan cita-cita. Senyuman di tengah gerimis panjang di kesunyian Lapepahe)

(bersambung pada episode selanjutnya: panen dan pembenihan)

MARI, KITA BERSATU MENOLAK PERANG DAN KEKERASAN DI SELURUH MUKA BUMI

Tuliskanlah sejuta kata tentang kebaikan. Jika anda tak melihat pengaruhnya, bertindaklah….! (robinticoalu.com)

Jumat, 15 April 2011

BUDIDAYA TERIPANG DI KESUNYIAN LAPEPAHE (Bag. 1)

Catatan kecil sebuah petualangan di Dagho, Kab. Sangihe

 (sebuah kisah nyata yang diceritakan kembali)

Mentari belum jua menampakan senyumnya. Kabut tipis menyelimuti sebagian muka laut teluk Tahuna. Ratusan penumpang KM Mekar Teratai masih terkulai dalam buaian mimpi, saat deru mesin kapal terdengar makin melemah. Sebuah tanda kapal siap berlabuh.

Dalam hitungan menit, sang Nakhoda berhasil merapatkan kapalnya pada dermaga yang dipahami dengan baik lika-likunya. Dari HP seorang pemuda yang masih tertidur pulas, mengalun sebuah nada panggil ber-genre RAP-nya Iwa K. “Bebas”

“Sudah tinggalkan…, tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak tuk membebaskan pikiran, dan biarkan terbang sampai melayang sampai menembus awan…..

Bebas lepas, kutinggalkan saja semua beban di hatiku,..melayang, ku melayang jauh,…melayang dan melayang…..”


Joe, sang trainner
Reflex, Joe mengikuti hentakan musik. Kepalanya ikut bergoyang. Pandangannya terarah pada buih-buih yang tersisa di pinggiran kapal. Di kejauhan, dari balik bukit teluk Tahuna, berkas-berkas sinar pagi memendar kemerahan. Joe mengeluarkan bungkusan rokok, dan menghisapnya penuh kenikmatan




0000000


Entah yang keberapa kali Joe mengunjungi tempat ini, sejak bertemu Max Diamanti, aktivis LSM KEHATI (Keaneka Ragaman Hayati) yang perduli pada kehidupan masyarakat ‘lapisan bawah’.


Berarti saya ngga salah nih ketemu pak Joseph Palinggi. Memang LSM kami sudah lama mencari sosok yang walau berjiwa entrepreneur, tapi punya keperdulian pada kesejahteraan masyarakat bawah. Pokoknya, interest pada ekonomi kerakyatan lah..” ujarnya penuh semangat. 

Pertemuan yang menjadi tonggak awal pertemanan mereka, terjadi tahun 2006.

 Walau sempat terpisah beberapa waktu, namun hubungan mereka tetap terjalin. Entah lewat telephon, atau sms.

“Kalau pak Joe siap, saya akan fasilitasi masyarakat di Dagho, untuk di latih cara budidaya hingga pengolahan Teripang. Soalnya, Teripang di sana, khususnya di Lapepahe, bisa dibilang berlimpah. Tapi kurang di tangani secara optimal.” Nada suara Pak Max di ujung telephon terdengar penuh antusias, sekaligus harapan.    

Joe teringat telephon pak Max, 3 minggu lalu, saat dirinya tengah melakukan pemeriksaan akhir laporan produksi di tempat kerjanya.

Seminggu kemudian, Joe melakukan survey dan pengenalan awal pada ‘calon muridnya’

Mmhhh,… inilah saatnya aku harus mempertaruhkan konduite dan kredibilitas seorang trainner. Oh God, please help me…sebagaimana telah kau lakukan selama ini padaku….!’
 Joe menghembuskan asap rokok kesukaannya. Matanya memandangi lautan manusia yang naik dan turun dari KM Mekar Teratai, mencari sosok penjemputnya.

Tampak sekilas, beberapa Putra Daerah Sangihe yang terbilang sukses di daerah lain menuruni tangga kapal. Konon, nama mereka termasuk dalam kandidat Calon Bupati yang akan ‘berjibaku’ dalam pemilihan berikut.

Seulas senyum mengembang, saat seorang melambaikan tangan, sambil menyebut namanya. Pak Max Diamanti tampak segar dengan kaos biru dan topi yang juga biru.


Meluncur Ke Dagho


Setelah mengisi perut dengan minuman hangat dan beberapa piring nasi (hahaha….rupanya Mr. Trainner sudah kelaparan,..karena sajian kapal yang disuguhkan tidak disentuhnya. Perutnya mual akibat gelombang yang lumayan kencang mengombang-ambing kapal yang ditumpangi), perjalanan yang cukup panjang menuju Dagho ditempuh dengan kendaraan milik keluarga Pak Max.

Eloknya pemandangan alam Tahuna menuju Dagho, membuat perjalanan terasa mengasyikan. Apalagi ditambah guyonan konyol & menyegarkan ala Max Diamanti, yang rupanya punya selera humor yang bisa menyaingi ‘kegilaan’ Sule. 3 jam terasa lebih singkat.

Bagi Joe, petualangan bukanlah pengalaman baru, karena sejak 20’an, ia terbiasa merambahi tingginya gunung, luasnya hutan dan dalamnya laut. Malah, semua aktifitasnya 20 tahunan yang lalu, merupakan bekal penting dalam mengarungi perjalanan hidupnya di masa kini. Khususnya dalam menghadapi berbagai tantangan.

Dari pengalaman petualangannya, ia lebih mahfum menghadapi berbagai karakter orang yang sering di jumpai di tempat kerjanya. Dengan jabatannya sebagai Manager produksi pada salah satu pabrik pengalengan di Bitung, serta Owner sebuah ‘Processing Frozen Fish House’ ia tidak hanya diperhadapkan pada karakter ratusan pekerja yang dipimpinnya, namun juga style Pimpinan lain yang berkebangsaan Philiphina.

Setibanya di Dagho, kedatangan Joe disambut hangat kelompok yang akan jadi ‘anak didiknya’ dalam budidaya Teripang. Setelah berbincang beberapa saat, mereka kembali diperhadapkan pada ritual yang menyenangkan: Makan (siapa bilang makan bukan ritual..?)

Tidak ada yang namanya KFC, Piza, HH Bento, Capuccino, jus Alpukat, ato buah anggur pada hidangan yang disiapkan. Tapi jangan tanya soal kenikmatan. “Seng ada lawan…..” kata guyonan di TV. Nasi panas yang mengepul, sayuran segar, serta menu pamungkas, yakni ikan bakar rica yang ruaaaarrr biasa nikmat. Apalagi ikan-ikan dasar yang waktu di bakar, matanya masih melotot saking marahnya…hahahaha….

Setelah istirahat dan berbincang soal persiapan yang akan dilakukan di lapangan, Joe bersiap melakukan ‘pembimbingan’ pada beberapa masyarakat Dagho, yang ternyata beranggota-kan Ketua Jemaat dan Kepala lingkungan.

Pembuatan kurung-kurung
Atohema adalah kelompok budidaya teripang, yang merupakan program pemberdayaan masyarakat, yang bernaung di bawah payung LSM KEHATI. Kelompok ini diketuai Bpk Jhoni Bangka, serta beberapa anggota, diantaranya Bpk M. Malonda (Kepala Lingkungan) dan Bpk Fritz Kapal (Ketua Jemaat GMIST Tiberias)

Uniknya, pelatihan pembudidayaan ini tidak hanya menyertakan kelompok Atohema, namun juga 3  mahasiswa (Ari Masoa, Shandi Harman dan Dekris Kapal) dari Politekhnik terkemuka di Sangihe, yakni Politekhnik Nusa Utara (mendapat ‘ijin resmi’ dari sang dosen, yang ‘kebetulan’ merupakan yunior Joe saat masih aktif di Mapala FPIK Unsrat dulu)


Persiapan Pembuatan Kurungan


Pembuatan kurungan yang bahannya terdiri dari jaring dan bambu berbentuk persegi panjang, berukuran 20 x 20 (400 mtr persegi) dilakukan pada salah satu rumah tokoh masyarakat Dagho.

Rasa lelah selama perjalanan panjang, terobati dengan antusiasme kelompok, ke-3 mahasiswa, serta dukungan pak Max, yang tampak begitu inspire di mata mereka.

Bukan hal yang rumit memang, jika keinginan untuk maju sudah jadi tekad. Buktinya, tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan PR pertama para ‘murid’. And then, ready to the beach…..


Pembuatan Patok di Lokasi dan pengumpulan bibit


pembuatan patok
Butuh waktu sekitar 20 menit menuju lokasi pembudidayaan, yakni Desa Lapepahe.  Apalagi perjalanan harus ditempuh dalam suasana hening dan gelap. Tapi jangan di tanya asyiknya. Amazing deh bo…!

Mengingat teripang punya ‘rule’ sendiri soal tempat hidup yang layak, jadi ngga bisa sembarangan untuk menentukan lokasi. Perlu kajian dan informasi lengkap sebelum mem-plot lokasi. Ibarat mau ‘nembak’ cewek, harus tahu ketertarikan si-cewek, karakater sama kepribadian (tapi yg pasti bukan mobil pribadi, rumah pribadi, ato rekening pribadi,…hehehe).

Dan bicara soal teripang (sea cucumber), berarti harus tahu salinitas habitatnya, kelimpahan, juga ‘tingkat kesuburan’ lokasi. Soalnya mustahil melakukan pembudidayaan di areal yang 1 ekor-pun gak pernah di temukan keberadaannya. Kan pertanda kalau di areal tersebut ngga cocok untuk mereka menetap.

Setelah lokasi yang cocok ditemukan, Joe & Gank mulai melakukan aksinya. Pasang patok-patok untuk penempatan kurung-kurung yang telah berhasil di buat. Patok yang dibuat dari kayu berukuran 2 – 3 meter, di tanam pada perairan yang kedalamannya 1 – 1,5 meter.

Usai pembuatan patok, lalu kurung-kurung di pasang se-ideal mungkin. And then,….pengumpulan bibit, untuk di budidayakan dalam kurung-kurung tersebut.

Orang arif bilang, kalau pekerjaan di lakukan dengan rasa cinta, maka pekerjaan tersebut bukan menjadi beban, melainkan kesenangan. Nah, bayangkan sendiri deh makna dari kesenangan…hehehe

Walau tidak mudah, tapi tidak juga terlalu sulit untuk mengumpulkan bibit yang populasi alamiahnya cukup lumayan. Bibit yang diperkirakan butuh waktu beberapa bulan untuk ‘dibesarkan,’ mungkin lebih cepat dari perkiraan semula. Gimana tidak,…bibit yang ditemukan, ukurannya besar-besar bo…!

Kesunyian Lapepahe semakin senyap, seiring beringsutnya mentari di balik kerimbunan bakau yang masih asri membentang sepanjang pantai.

Ah, semoga tempat ini tidak ditemukan para ‘mall mania’ alias para pembuat mall yang doyan membabat pohon dan menimbun laut’
Joe menghembuskan asap rokoknya, dengan pandangan yang tak jua lepas dari eloknya alam Lapepahe.

Jangkrik pohon semakin meninggikan volumenya, sering malam yang mendekat. Sosok-sosok tangguh yang usai melakukan tugasnya hanya berdiri menyongsong malam. Ada secercah harapan yang tertanam di hati mereka. Suatu hari nanti, Lapepahe akan dikenal sebagai centra Teripang Sangihe, bahkan Sulawesi Utara. Dan suatu hari kelak, anak-anak mereka akan membangun Dagho, lewat bekal pendidikan yang mereka peroleh, dari kesunyian desa Lapepahe…………………………..semoga.












Nantikan Kisah-kisah selanjutnya





PESAN KEMANUSIAAN: “HENTIKAN PERANG DAN KEKERASAN DI SELURUH DUNIA”


Senin, 14 Februari 2011

REKLAMASI, CAPE DEH

 20 tahun lalu, saat kontroversi tentang reklamasi pantai Manado, yang melibatkan kaum akademisi, praktisi, politikus, pakar lingkungan, serta masyarakat umum merebak, saya yakin reklamasi tak akan berlanjut. Tapi fakta berbicara lain. Ratusan mall serta kerajaan bisnis, akhirnya tumbuh subur bak jamur di musim durian. Entah berapa triliun ‘turn over’ uang terjadi di tempat yang dulunya merupakan tempat favorit saya menghabiskan sore hari (hehe...sampe sekarang ngga abis-abis tuh sorenya)

Walau pada prinsipnya saya dan kelompok  lainnya tidak setuju menukar paksa keindahan pantai Manado dengan ratusan mall- dengan dalih pertumbuhan ekonomi- toh persoalannya tidak sesederhana itu. Karena persoalan ini telah mengarah pada perbedaan paradigma. Perbedaan keyakinan.

Kelompok ‘anti reklamasi’ meyakini bahwa aktifitas reklamasi akan berdampak buruk pada lingkungan ekologis. Entah untuk jangka pendek, atau jangka panjang. Sedangkan para pengembang ‘pro reklamasi’ percaya, bahwa walau reklamasi berdampak terhadap lingkungan, namun tidak signifikan, atau dengan ‘bahasa’ lain, dampaknya sangat kecil, atau bahkan “bisa di abaikan”. Di bandingkan ‘nilai tambah’ yang bisa diperoleh bagi pertumbuhan ekonomi.

Ketika sebuah persoalan telah mengarah pada perbedaan paradigma, atau keyakinan, maka hal tersebut bukan lagi masalah logis, melainkan masalah psikologis. Dan ketika seseorang, atau sekelompok orang telah berusaha memaksakan keyakinannya pada orang, atau kelompok lainnya, maka tak dapat terelakan lagi akan munculnya persoalan baru yang jauh lebih besar.

Intermezzo dikit nih. Sejak kecil, orangtua saya telah menanamkan ke benak saya, bahwa saya cuma boleh minum air yang sudah mendidih. Dan ‘doktrin’ tsb mengkristal dalam diri saya sebagai sebuah paradigma. Sebuah keyakinan. Hingga akhirnya saya berkesempatan untuk mempelajari sedikit tentang ilmu Mikrobiologi. Di mana saya memahami satu hal penting : dengan menyingkirkan bakteri-bakteri berbahaya, melalui berbagai proses- selain dimasak hingga mendidih- saya bisa minum dengan aman.

Sejak itu, saya mengubah keyakinan saya. Tanpa tekanan ataupun pemaksaan. Melainkan lewat sebuah penyadaran dan pencerahan. Saya melihat sebuah cakawala baru.

Tirto Utomo, sang pendiri perusahaan minuman mineral Aqua, membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sama sekali tidak kecil, hingga akhirnya mampu mengungkapkan  kebenaran yang ia yakini hingga ke sumsum tulang tentang produk air minumnya pada puluhan juta orang dari berbagai lapisan. Padahal ia sempat dicap sebagai si-sakit jiwa. “Masa sih air mentah di jual untuk di minum.” Kata sebagian besar tetangganya kala itu.


Tapi, “sometimes faith just ain’t enough”…. Ya, keyakinan saja terkadang tidak cukup.

Karena sebagai pihak yang tidak setuju dengan reklamasi, harus bisa membuktikan fakta yang seyogyanya diperoleh melalui analisis, serta kajian yang panjang, cermat dan seksama akan dampak direklamasinya pantai Manado.

Pada akhirnya, baik pihak anti reklamasi dan pro reklamasi harus mau duduk semeja, dengan menggunakan kacamata yang sama, dengan hati yang terbuka dan legowo, berusaha mencari kebenaran itu. Hingga akhirnya,  tidak akan pernah ada pihak yang harus merasa tersudut sebagai ‘the looser’  atau ‘the winner’, melainkan lahirnya sebuah cakrawala berpikir yang baru, melalui sebuah pencerahan. Sebuah transformasi berpikir yang mengerucut pada win-win solution. Karena keyakinan yang dipaksakan, tidak akan pernah berumur panjang. Bahkan tak jarang tumbuhnya tunas baru yg kita sebut sebagai: Dendam.

  Sebagai pihak anti reklamasi, saya ajukan pertanyaan:
“Reklamasi kebutuhan atau keinginan?”

Jika reklamasi adalah sebuah kebutuhan,..”Kebutuhan siapa?”

Jika reklamasi merupakan sebuah keinginan,…saya menyitir pernyataan Mahatma Gandhi: “Sesungguhnya bumi ini mampu memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tidak untuk keserakahannya”

Tapi kalo menurut saya, :"Reklamasi..? capeee deeehhh..."

(Jika kelak saya tua, dan mendapati Manado tak berpantai lagi, mungkin dengan kebanggaan yang tersisa, saya masih bisa berkata pada cucu saya, bahwa di pantai ini dulu, opa pernah mancing, dan menciumi matahari sore. Bahwa dengan keyakinan yang opa miliki, opa bisa menyelesaikan tulisan ngawur ini)